Bulan
mati, dan mentari hidup kembali. Alunan tasbih ayam, dzikir rumput terdengar
oleh telinga hati. Namun imaji masih mengingat pertikaian malam tadi, sesaat
musyawarah santri tentang kehidupan santri di pesantren.
Pagi,
menghadirkan mentari yang malu melihatkan raut wajahnya padaku, atau juga pada
lainnya. Bersama secangkir renungan yang mengendapkan lelet kehidupan. Aku
mengingat dan merenungi pertikaian tadi malam, tentang surban yang ku ributkan
dengan santri lainnya.
Bagiku
itu hanya sebuah perbedaan kecil, yang tak menjadi kunci dari keyakinan santri,
yakni kalimah Laa Illa Ha Illallah Muhammadur Rasulullah. Peristiwa itu
membengkak, seperti halnya media-media kota yang mewartakan gaya hidup artis,
yang selayaknya tak perlu diekspos untuk diperbincangkan. Sedangkan krisis nurani
kita tak pernah kita tanggapi obrolannya, seperti ketidakpedulian kita terhadap
saudara-saudara kita yang menghuni kolong kekafiran.
*****
Malam itu, hatiku menjerit, meneriaki
dunia, tentang kekonyolan saat aku mengenakan surban di bahu kiriku, yang kemudian
diprotes santri-santri lainnya. Aku benar-benar mengingat kejadian tadi malam, persis
apa yang terjadi. Karena saking uniknya untuk diingat.
“ Nabimu siapa? Tuhanmu Siapa? “
Tanya Shodiq, santri senior seperti bertanya kepada orang yang berbeda
keyakinan.
“ Nabiku Muhammad dan Tuhanku Allah. Kenapa
kamu bertanya seperti itu? Bukankah keyakinanku dan keyakinanmu sama? “ Jawabku
mengimbangi nada pertanyaannya.
Mendengar jawabanku, Selamet, Lurah
Pondok ikut menyudutkanku dengan sebuah pertanyaan. “ Kalau kamu berkeyakinan
sama denganku, lalu kenapa kamu mengenakan surbanmu di bahu kirimu? “
“ Apakah Allah dan Rasulullah
melarang tentang mengenakan surban di bahu kiri? “ tanyaku balik.
“ Dasar tolol!” pertanyaanku dijawab
dengan serapah santri yang bernama salam, dan dia lanjut menjawab pertanyaanku.
“ Rasulullah tidak pernah mengajarkan itu! “
“ Perlu diketahui Zak, bahwasanya
Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan untuk mengenakan surban di bahu kiri, akan
tetapi di bahu kanan. Jadi kalau kamu membuat sesuatu yang baru, yang tidak
diajarkan Rasulullah, maka itu bid’ah. Dan setiap Bid’ah adalah sesat. “ Tambah
Selamet.
Malam yang mencekam, membuatku hanya bisa
diam. Bukannya aku tak mau menimpali pendapat-pendapat mereka. Namun karena aku
yang masih santri baru yang tak pantas bila aku menimpali kata-kata mereka:
yang masih tumbuh tanaman kesombongan dan kefanatikan tanpa pernah disiram
dengan obat perbedaan. Pula waktu telah mengatup, saatnya berjamaah para santri
untuk melaksanakan ritual rutin terhadap Tuhannya di waktu Isya’.
Kegetiran terus menggelisahi
malam-malamku. Angin tampak getir berjalan kesana-kemari dengan cepatnya. Air
kulah tampak pucat, barangkali karena belum dikuras. Dan langit-langit tampak
pucat, dengan tangis petir dan petangnya awan. Malam tadi benar-benar
menyapirkan kegelisahan di ranting-ranting hatiku.
*****
Waktu
menunjukkan pukul 07.00 WIB, kini mentari sudah mulai sedikit menampakkan raut
mukanya. Di Loteng Pondok, lantai III, sendirian aku bercakap dengan
hatiku. Hati yang masih merenungkan kegetiran yang terjadi malam tadi,
mengatakan padaku agar aku selalu berpegang teguh pada pendirianku, meskipun
pendirian itu terus diguncang badai perbedaan.
Tadi
malam, aku belum melampiaskan pendapatku tentang aku yang mengenakan surban di
bahu kiri. Pagi ini, ingin sekali rasanya aku melampiaskan semuanya padaku sendiri.
Tahukah
kalian tentang yang aku maksud? Tentang kenapa aku mengenakan surban di bahu
kiriku? Dan perlu kalian ketahui bahwasanya aku juga tahu tentang surban di
bahu kanan yang dilakukan Rasulullah. Namun kalian tidak tahu simbolisasi surban
di bahu kiriku yang ku lakukan. Itu semua adalah makna ngiwakke awakku
ketimbang gusti kang murbo, atau ngiwakke urusanku ketimbang urusane
liyan. Itu yang ku maksudkan dari semiotika yang ku kenakan. Apakah kalian
sudah mempunyai bukti bahwa yang ku lakukan adalah sesuatu yang menimbulkan
dosa. Sedangkan yang kalian lakukan tidak menimbulkan dosa. Toh, tidak ada
larangan dalam agama tentang apa yang aku lakukan.
“
Ah, . . Pusing mikirin semua ini. “
teriakku setelah memikirkan perbedaan sudut pandang yang tak ada ujungnya,
namun hakikatnya mempunyai ujung yang pasti, yakni menghargai perbedaan. Sesaat
itu pula, teriakanku menyadarkan santri-santri lainnya yang khusyu’ saat membacakan kalam-kalam Tuhan
tanpa intonasi yang jelas.
“
Ada apa Zak? Kok teriak sendirian? “ Tanya Syam, yang sedari tadi melantunkan
kalam-kalam Ilahi disampingku.
“
Tidak ada apa-apa kok Syam. Hanya aku yang pusing memikirkan urat-urat
kesombongan dan kefanatikanku yang belum di putus Allah. “ Jawabku,
menyembunyikan kebenaran.
“
Memangnya kau pernah Sombong? Dan bukankah kau orang yang tak pernah menghina
orang? Dan juga apa kau pernah tersesat terhadap kefanatikan kepercayaanmu
sehingga menyalahkan kepercayaan lainnya? “ Pertanyaan bertalu yang menghujaniku.
“ Apa kamu membohongiku. Bahkan kau membohongi dirimu sendiri? ” lanjutnya,
seperti air hujan yang telah lama merindukan jatuh ke bumi.
Begitu
derasnya pertanyaan Syam menghujaniku. Membuatku hanya bungkam seribu bahasa,
dan seribu nada. Aku hanya bisa diam. Aku hanya terbisu. Aku terbungkam oleh
pertanyaan Syam yang tiada henti. Seketika mulutku refleks menceritakan semua
yang aku pikirkan. Mendengar semuanya Syam hanya berkomentar bahwa setiap
manusia didesaign dengan beragam
karakter.
Jadi
aku dan mereka tidak mungkin bisa sama. Postur tubuh saja sudah berbeda,
apalagi karakternya. Sehingga aku yang sudah mengerti tentang perbedaan
karakter harusnya menghargai pendapat mereka, meski mereka tidak bisa
menghargai pendapatku. Kalau begitu aku teringat tentang ucapan pamanku tentang
menjadi Terate, yang bisa hidup dimana saja, untuk beradaptasi dengan perbedaan
karakter di lingkungannya.
Aku
harus belajar menjadi Surban, dalam ngiwakke urusanku ketimbang urusane
liyan, yang dapat mengedepankan pendapat situasi mayoritas. Tanpa mengedepankan
dokma-dokma yang selama ini ku pakai.
*****
Mentari
kini telah sempurna bertatap dengan mukaku. Mengajarkanku agar aku menjadi
sempurna dan terang benderang dalam menghargai perbedaan, tanpa mengedepankan
pendapat individu. Dan terus belajar tentang penglihatan hatiku dalam menangkap
ratusan cahaya, sehingga meski dalam kegelapan aku akan bisa melihatnya.
Aku
akan selalu menjadi Surban. Surbanku adalah Surbanku, dan Surbanku bisa menjadi
Surbanmu. Atau juga Surbanmu menjadi Surbanku. Meski hanya sejenak, semoga ini
bisa membahagiakanmu dan tak terulang kembali seperti malam tadi. Wa’allahu
‘A’lam.
Kudus, 2012-Habib Arafat-
(Kesasar Di Buletin Perahu Sastra Edisi Januari 2013)
0 tanggapan:
Post a Comment